Wednesday, October 11, 2006

Indonesia Unemployment Solution

SUARA PEMBARUAN DAILY
Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia


Oleh Daulat Sinuraya

SEKITAR 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.

Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.

Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.

Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara.

Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.

Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.

Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.

Kebijakan Mikro

Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.

Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.

Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu

Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).

Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.

Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang.

Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.

Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.

Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.

Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.

Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.

Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.

Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.

Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.

Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

Penulis adalah Sekjen Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI)

Last modified: 7/9/04

http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/07/Editor/edit02.htm

Increasing Poverty

Rabu, 11 Oktober 2006

Penduduk Miskin DIY Diperkirakan Naik 6,4 persen


Jogyakarta, Central Java

Akibat gempa bumi (earth quake) 27 Mei, sebagian masyarakat DIY kehilangan rumah, harta benda, dan mata pencaharian. Mengacu pada kondisi tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan terjadi penambahan sedikitnya 6,4 persen penduduk miskin baru pascabencana alam di DIY.

Berdasarkan pendataan oleh pemerintah di tingkat kabupaten/kota, hingga 7 September jumlah rumah tidak layak huni (roboh dan rusak berat) mencapai 177.411 unit. Sementara itu, laporan International Labour Organization (ILO) pascagempa memperkirakan penduduk DIY yang kehilangan mata pencaharian mencapai lebih dari 214.000 orang atau 13,38 persen dari total pekerja di provinsi ini (semester I 2006) sebanyak 1,6 juta orang.

Akibatnya, sebagian dari mereka hingga kini kesulitan mencukupi kebutuhan hidup dasar (sandang, pangan, dan papan) sehingga diprediksi penduduk miskin baru di DIY bertambah 52.128 orang. Kabupaten Bantul yang wilayahnya paling rusak parah terkena gempa juga menduduki peringkat teratas dalam hal pertambahan penduduk miskin. Angka penduduk miskin baru di kabupaten ini diperkirakan mencapai 24.000 jiwa atau 30,7 persen dari total 866.997 jumlah penduduk miskin pascabencana.

Meski warga miskin di Bantul diperkirakan paling banyak jumlahnya, ternyata sebagian dari mereka belum masuk dalam daftar penerima bantuan rekonstruksi rumah. Oleh karena itu, Pemkab Bantul terus melakukan verifikasi rumah tidak layak huni sehingga data penerima bantuan rekonstruksi benar-benar valid dan tepat sasaran. (SUGITO/LITBANG KOMPAS)

https://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/11/jogja/29685.htm

Low Purchasing Power

Selasa, 22 Agustus 2006

Daya Beli Masih Rendah


Tasikmalaya (West Java), Kompas - Sejak tahun 2001, pendapatan asli daerah atau PAD Kabupaten Tasikmalaya meningkat. Namun, meningkatnya PAD tidak serta-merta mampu meningkatkan daya beli masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian.

Daya beli masyarakat masih rendah karena hasil pertanian masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan petani dan keluarganya. Pertanian belum dikembangkan menjadi unit usaha komersial yang menguntungkan.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Tasikmalaya Hidayat, Senin (21/8), yang paling memungkinkan untuk dilakukan Kabupaten Tasikmalaya ialah mengembangkan agrobisnis.

Apalagi, lanjut Hidayat, struktur ekonomi Kabupaten Tasikmalaya masih didominasi sektor pertanian. "Upaya konkretnya berupa pengembangan padi organik yang dipadukan dengan peternakan," katanya.

Kerja sama (Collaboration)

Sementara Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi (Unsil) Prof Dr Kartawa mengatakan, jika pertanian menjadi prioritas pembangunan, seharusnya hal itu tercermin dari besarnya alokasi anggaran dalam APBD untuk pertanian.

"Selama ini dari besaran APBD untuk pertanian, saya masih belum melihat bahwa sektor itu menjadi prioritas pembangunan. Besarnya alokasi untuk sebuah sektor menjadi cerminan ke mana pembangunan diprioritaskan," kata Kartawa.

Diakui, sebagian besar masyarakat Kabupaten Tasikmalaya bergerak di sektor pertanian. Selain itu, lahan produktif yang bisa ditanami masih luas. Jika diprioritaskan, sektor pertanian akan mendongkrak taraf ekonomi masyarakat, tetapi hasilnya tidak akan secepat industri. "Investasi di bidang pertanian memerlukan waktu," ia menegaskan.

Untuk mengembangkan sektor pertanian, menurut dia, diperlukan pengembangan agrobisnis dari hulu hingga hilir. Hal ini untuk mengantisipasi posisi petani yang selalu "tersisih" dalam rantai ekonomi.

"Ketika memerlukan sarana produksi, petani di posisi paling belakang sehingga biaya yang dikeluarkan tinggi. Sementara ketika menjual hasil produksinya, di posisi terdepan dan mendapatkan harga jual rendah," tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Kartawa, jalan keluar yang dapat diambil adalah kerja sama petani dengan koperasi atau industri yang berperan menjadi pasar dari produk pertanian itu.

Prioritas (Priorities)

Tahun 2006, menurut Hidayat, pembangunan Kabupaten Tasikmalaya terfokus pada pemindahan ibu kota ke Kecamatan Singaparna. Sekretaris Program Pendanaan Kompetisi (PPK) IPM Kabupaten Tasikmalaya Endang Wahyuningsih menuturkan, untuk mengganti turunnya produksi pertanian akibat alih fungsi lahan pemindahan ibu kota harus dilakukan perbaikan teknologi pertanian, yaitu dengan mengembangkan pertanian padi organik. (adh)

https://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/22/Jabar/4909.htm