Saturday, December 03, 2005

UMK 2006 West Java

Perbandingan UMK 2006 dan KHL 2005
No
Kab/Kota
UMK2006 Rp
KHL2005 Rp
UMK2006/ KHL2005
1
Kota Bogor
611.478,78
a. upah min kota
720.750
117,87%
b. UKM, garmen, tekstil, sepatu, jasa
630.000
103,03%
2
Kota Cirebon
540.500
641.881.00
84,21%
3
Kab Cirebon
526.125
542.621,88
96,96%
4
Kab Indramayu
581.000
580.600,00
100,07%
5
Kab Majalengka
489.000
627.024,77
77,99%
6
Kab Purwakarta
757.815,00
a. Upah Min Kab
713.000
94,09%
b. Usaha Garmen, boneka, topi
650.000
85,77%
7
Kota Bandung
746.500
788.248,00
94,70%
8
Kota Tasikmalaya
500.000
712.765,50
70,15%
9
Kota Banjar
450.000
672.433,00
66,92%
10
Kab Garut
465.000
605.796,00
76,76%
11
Kab Ciamis
457.500
703.417,00
65,04%
12
Kab Tasikmalaya
498.000
633.424,00
78,62%


Perkembangan UMP Jawa Barat (dalam rupiah)

2002
2003
2004
2005
2006
280.799320.000366.500408.260447.654

sumber : Harian Kompas, tanggal 2 Desember 2005, halaman 27
Disnakertrans Prop Jabar dan Kep Gub Jabar No 561 thn 2005

Friday, December 02, 2005

Dilema Upah Minimum Buruh

Jumat, 02 Desember 2005

Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang upah minimum Provinsi Jawa Barat tahun 2006 menghadapi penolakan dari kaum pekerja yang menilai UMP itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Harga-harga yang meningkat pascakenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya hidup kian mahal.

Tetapi pengusaha pemberi upah pun punya persoalan, cemas melihat kenaikan biaya produksi yang dapat membuat prospek usaha memburuk.

Upah yang tidak mencukupi itu misalnya dirasakan Asep (28), buruh tekstil di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Gajinya yang Rp 620.000 per bulan tidak cukup buat hidup bersama istri dan seorang anaknya. Pekerja lainnya, Iwan (22), karyawan perusahaan tekstil, juga di Majalaya, hanya sedikit lebih beruntung dari Asep. Setiap bulan buruh lajang ini menerima upah Rp 671.000.

Jika dibandingkan dengan upah minimum Kabupaten Bandung 2005 sebesar Rp 601.000, sekilas gaji Asep dan Iwan lebih tinggi sedikit daripada upah minimum kabupaten/kota (UMK). Namun, pascakenaikan harga BBM Oktober lalu, nilai upah tersebut di bawah kebutuhan hidup mereka.

Kondisi serupa juga dialami buruh-buruh lain di Kecamatan Majalaya, yang umumnya bekerja di perusahaan tekstil. Upah yang mereka terima hanya cukup untuk biaya transportasi dan makan sehari-hari. Karena itulah mereka sangat berharap adanya kenaikan UMK dalam kondisi lebih sulit seperti sekarang. Namun, kenaikan upah yang sudah ditetapkan Gubernur Jabar tampaknya mengguratkan rasa kecewa. Berbagai demo menuntut kenaikan upah minimum pun digelar.

Upah minimum yang ditetapkan Gubernur itu rata-rata hanya naik 9,63 persen dibandingkan dengan tahun 2005, jauh dari tuntutan para buruh yang mereka ajukan melalui serikat pekerja. Rata-rata kenaikan minimal yang mereka minta sama dengan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan.

KHL diartikan sebagai standar hidup yang harus dipenuhi bagi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, nonfisik, maupun secara sosial, selama satu bulan.

Ia terdiri dari tujuh komponen, meliputi 46 jenis kebutuhan. Ketujuh komponen KHL itu adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Dalam menetapkan upah minimum, KHL ini memang dijadikan salah satu bahan pertimbangan.

Selain KHL, dalam menentukan upah minimum, dewan pengupahan yang dibentuk gubernur juga mempertimbangkan tiga faktor, yaitu produktivitas tenaga kerja, laju pertumbuhan ekonomi (LPE), dan usaha yang paling tidak mampu (marjinal).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Pemerintah Provinsi Jabar menetapkan LPE sebesar 6,3 persen dan produktivitas tenaga kerja 0,96 persen. Sementara usaha yang paling tidak mampu didasarkan pada nilai KHL terendah di Kabupaten Cirebon adalah Rp 542.621.

Rumus buat penetapan UMP yang dipakai oleh dewan pengupahan provinsi adalah penjumlahan LPE dan produktivitas tenaga kerja dikalikan dengan KHL. Kemudian hasilnya ditambahkan dengan UMP tahun 2005. Dari rumusan tersebut, keluarlah angka Rp 447.654 yang kemudian ditetapkan Gubernur Jabar sebagai UMP 2006.

Nilai UMP yang ditetapkan itu ternyata baru mencapai 82,50 persen dari KHL Kabupaten Cirebon, KHL terendah di Provinsi Jabar. Sedangkan jika dibandingkan dengan UMP tahun 2005, yakni Rp 408.260, besaran kenaikan hanyalah 9,65 persen. Setelah menjadi ketetapan Gubernur, UMP inilah nantinya yang dijadikan landasan bagi semua kabupaten/kota untuk menetapkan UMK.

Relatif kecil

Nilai UMP yang ditetapkan Gubernur Jabar memang relatif kecil, namun menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Sukarto Karmen pekan lalu, upah minimum itu hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Bagi pekerja/buruh dengan masa kerja lebih dari satu tahun, upah itu dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja dan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.

Keputusan Gubernur itu juga menetapkan, perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan upah minimum tidak boleh menurunkan upah pekerjanya. Perusahaan yang tidak mampu melaksanakan ketentuan itu dapat mengajukan penangguhan upah minimum melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jabar paling lambat 10 hari sebelum 1 Januari 2006. Kemudian, pemerintah akan meninjau dan mengaudit perusahaan yang mengajukan penangguhan itu.

Pembentukan UMK

Setelah penetapan UMP, dewan pengupahan kabupaten/kota akan mengusulkan UMK. Nilai UMK yang diajukan itu didasarkan pada KHL masing-masing daerah serta memerhatikan UMP yang diputuskan Gubernur. Nilai UMK tahun depan itu minimal harus sama atau lebih besar dari UMP yang ditentukan oleh Gubernur. Nilai UMK hasil pembahasan dewan pengupahan itu kemudian diusulkan oleh kepala daerah kabupaten/kota kepada Gubernur untuk disahkan sebagai ketetapan.

Hingga kini, Gubernur baru mengesahkan UMK untuk 12 kabupaten/kota di Jabar. Di luar itu, 13 kabupaten/kota lainnya terlambat mengajukan usul nilai UMK. Keterlambatan ini terjadi karena harus adanya penghitungan ulang akibat kenaikan harga BBM pada awal Oktober silam. Kenaikan harga BBM itu berdampak pada tingginya kebutuhan hidup, angka inflasi, dan biaya produksi. Kini penghitungan UMK di 13 kabupaten/kota tersebut belum tuntas.

Meski hampir separuh kabupaten/kota sudah ditetapkan, tampaknya UMK itu belum menyelesaikan masalah. Sejumlah demo buruh lewat serikat pekerja yang marak di berbagai tempat di Jabar menjadi bukti ketidakpuasan itu. Mereka meminta kenaikan UMK yang lebih layak.

Serikat Pekerja Nasional Jabar, misalnya, menuntut kenaikan upah berdasarkan KHL sebesar 100 persen ditambah 30 persen dari KHL untuk mengatasi masalah inflasi. Namun, kenaikan upah minimum di Jabar hanya 60-85 persen dari KHL. Besar rata-rata KHL di Jabar adalah Rp 800.000 per bulan.

Kenaikan UMK itu menjadi dilema. Di satu sisi buruh berhadapan dengan kenaikan biaya hidup dan tidak puas karena tidak sebandingnya kenaikan upah dengan kenaikan harga-harga. Di sisi lain, pengusaha pun merasa biaya produksi naik sehingga khawatir produknya tidak laku di pasar.

Mungkin kearifan masing-masing pihak dalam menghadapi dilema inilah yang akan dapat membuat persoalan upah minimum tersebut tidak selalu berselimutkan rasa tidak puas. (Db01/LITBANG KOMPAS)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/02/Jabar/2258002.htm