Monday, April 18, 2005

Pasca Kenaikan BBM

Updated: Minggu, 13 Maret 2005, 16:46 WIB NASIONAL

Pasca Kenaikan BBM, Penduduk Miskin Naik Dua Persen

Jakarta, Minggu

Angka penduduk miskin di Indonesia diperkirakan menjadi 40 juta jiwa pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau naik 2 persen dibanding tahun 2004 sebanyak 36,17 juta jiwa.

Hal ini dikatakan Dr Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), dalam jumpa pers Tim Indonesia Bangkit di Jakarta, Minggu (13/3).

"Dari data pemerintah, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan sebanyak 16,7 persen atau 36,17 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia," kata Hamonangan yang melakukan Studi Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Sosial Ekonomi Indonesia. Pada tahun 2005, pemerintah memperkirakan angka tersebut akan turun sebanyak 2 persen.

Standar garis kemiskinan pada tahun 2004 mengacu kepada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), apabila konsumsi penduduk di bawah Rp123 ribu per kapita per bulan.

"Penduduk yang hidupnya berada di sekitar garis kemiskinan atau hampir miskin itu jumlahnya sekitar 10, 5 persen, sedangkan kenaikan harga BBM membuat standar garis kemiskinan pada tahun 2005 diperkirakan menjadi Rp140 ribu," ujarnya.

Menurut dia, yang menerima kompensasi subsidi dari penduduk berkategori hampir miskin itu sekitar 60 persen sedangkan sisanya belum menerima. "Artinya, ada empat persen penduduk dikategori hampir miskin itu yang menjadi berkategori miskin. Pemerintah memperkirakan angka kemiskinan turun 2 persen pada 2005, dengan adanya penambahkan penduduk miskin ini maka angka penduduk miskin secara keseluruhan menjadi 18,4 persen," kata dia menjelaskan.

Angka ini, katanya, sama dengan kondisi pada tahun 1999 ketika Indonesia diserang krisis moneter yang berkepanjangan.

Mengenai pernyataan pemerintah bahwa angka penduduk miskin akan turun menjadi 11 persen setelah kenaikan harga BBM, Hamonangan mengaku tidak mengetahui acuan pemerintah sehingga bisa terjadi penurunan itu. Begitu pula pernyataan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) bahwa jumlah penduduk miskin akan menjadi 13,87 persen.

"Kami juga bingung angka tersebut bisa diperoleh pemerintah, padahal dalam studi yang saya lakukan belum dimasukkan mengenai pendapatan minimal sebesar 2 dolar AS per hari. Kalau ini dimasukkan, jumlah penduduk miskin mungkin akan lebih banyak lagi," kata dia.

Sementara Rina Oktaviani, peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengatakan bahwa daya beli masyarakat dipastikan menurun pasca-kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 1 Maret 2005.

"Dengan asumsi penyaluran dana kompensasi efektif, tepat sasaran dan tidak mengalami kebocoran, kenaikan harga BBM tetap mempengaruhi daya beli masyarakat," kata Rina dalam acara yang sama.

Dia mengakui terjadi peningkatan pendapatan di tingkat rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor non-pertanian di pedesaan dan rumah tangga yang berpendapatan rendah di perkotaaan, namun angkanya amat kecil yakni 0,6 persen. Sementara tingkat inflasi naik sebesar 2,80 - 3,02 persen.

Menurut Rina, kondisi ini tidak terlepas bahwa di sektor industri, upah tenaga kerja yang tidak mempunyai keterampilan turun (-0,7 persen) dan tingkat pengembalian modal terutama sektor pertanian juga turun (-2 persen).

Penurunan juga terjadi di industri karet (-3,2 persen), industri tekstil dan kulit (-6,8 persen), industri angkutan (-3,2 persen) dan jasa pemerintahan (3,7 persen). Selain itu, terjadi pula penurunan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor ekonomi.

Di sektor pertanian, penurunan sebesar -3 persen, sektor perkebunan -5 persen, industri tekstil dan kulit -9,5 persen, industri kayu olahan -6,5 persen, sektor angkutan -6 persen.

"Secara makro, turunnya subsidi BBM ini menyebabkan meningkatnya tingkat inflasi 2,8 persen sebelum kompensasi dan 3,02 persen setelah dimasukkan dana kompensasi," ujar Rina.

Dia menambahkan, penelitian yang dilakukannya itu belum menghitung perubahan jumlah penduduk miskin apabila skema kompensasi diterapkan karena masih tingginya ketidakpastian mengenai skema kompensasi pada level rumah tangga.

Rina menggunakan model ekonomi keseimbangan umum "recursive Dynamic", datanya bersumber dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Nasional Tahun 2000 dan Tabel Input-Output Nasional tahun 2000.

Solusi tanpa mengurangi subsidi BBM untuk mengurangi defisit anggaran negara, menurut Rina dapat dilakukan dengan meningkatkan pajak bagi barang mewah, efisiensi di tubuh Pertamina dan pemerintahan.

Keberadaan Indonesia di tubuh Organisasi negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) perlu dipertanyakan kembali karena Indonesia kini menjadi pengimpor minyak. Percuma juga kalau Indonesia melalui OPEC tidak bisa menjaga kestabilan harga minyak dunia, padahal tujuan OPEC untuk itu, demikian Rina. (Ant/Edj)

sumber:
http://www.kompas.co.id/utama/news/0503/13/164717.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home