Thursday, December 02, 2004

UMR Jateng dan Pasar Domestik

Suara Merdeka, Sabtu, 20 Nopember 2004

UMK atau UMR atau apapun namanya adalah salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimum. Provinsi Jawa Tengah sudah menetapkan besarnya UMR yang paling tinggi adalah Rp 470.000 sebulan untuk Kota Semarang dan sekitarnya. Untuk menetapkan besarnya upah minimum ini memang ada acuannya. Tetapi penentuan besarnya upah minimum sebaliknya tidak terlalu berpihak kepada pengusaha dan tidak terlalu berpihak pada tenaga kerja. Pemerintah harus mampu mengambil kebijakan yang moderat antara kepentingan rumah tangga produsen dan kepentingan rumah tangga konsumsi.

Tetapi tampaknya sampai hari ini acuan perhitungan besarnya upah minimum masih menggunakan metode-metode tahun 70-an bahkan tahun 60-an yang masih menitikberatkan kepada kebutuhan fisik minimum (KFM) walaupun sudah dilakukan sosialisasi penggunaan kebutuhan hidup minimum (KHM).

Jika kita hanya mengacu kepada kebutuhan fisik minimum berarti hanya memperhatikan kebutuhan pokok minimum atau perkapita, seperti kebutuhan makan. Kebutuhan makan yang dihitung berdasarkan kebutuhan beras perkapita, yaitu 15 kg beras per orang (15xRp 2.500=Rp 37.500; Rp 2.500 merupakan harga beras medium tahun 2004), dapat dikatakan besarnya upah minimum relatif cukup bahkan lebih.

Tetapi perhitungan berdasarkan kebutuhan beras minimum itu masih mengabaikan biaya untuk memproses beras menjadi nasi yang membutuhkan air dan bahan bakar minyak, padahal pemerintah juga tidak serius menangani masalah air dan bahan bakar minyak sedikit demi sedikit harganya akan dilepas pada mekanisme pasar dan persediaan bahan bakar minyak juga semakin terbatas. Dari hasil penelitian yang dilakukan kebutuhan bahan bakar minyak untuk keperluan dapur, khususnya minyak tanah, 2 liter setiap hari atau sekitar 60 liter setiap bulan.

Kalau harga minyak tanah Rp 1.000 berarti setiap bulan memerlukan Rp 60.000. Sedangkan mereka yang menggunakan bahan bakar gas elpiji, rata-rata menggunakan 1 tabung gas atau seharga Rp 36.000. Tentu penggunaan energi dapur ini bukan hanya untuk menanak nasi tetapi sudah termasuk mempersiapkan air minum dan lauk dan tentu pengeluaran untuk hal ini pasti lebih besar karena harus menyediakan bumbu dapur dan sebagainya.

Jika pekerja yang menerima UMR sebesar Rp 470.000 sebulan ini harus memasak sendiri dapat dianggap tidak efisien karena akan terbeban biaya kebutuhan dapur yang relatif besar. Kebutuhan makan 1 atau 2 orang setiap hari akan lebih efisien jika makan di warung atau menggunakan jasa katering. Makan di warung yang murah rata-rata Rp 5.000 sekali makan setiap orang dengan kualitas makan dan minum yang memenuhi syarat 4 sehat 5 sempurna.

Memungkinkan juga harga makan dan minum di warung sebesar Rp 3.000 setiap orang per hari. Pada umumnya setiap hari makan 3 kali berarti biaya makan di warung minimum 3x30xRp 3.000=Rp 270.000. Biaya makan minum di warung ini masih berada di bawah upah minimum yang sebesar Rp 470.000. Untuk hidup layak seseorang tidak hanya perlu makan, tetapi juga perlu pakaian, sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, jika wanita juga memerlukan perlengkapan rias seperti bedak, parfum dan sebagainya.

Cukup Penting

Ada satu unsur yang cukup penting untuk menopang kehidupan layak yaitu biaya untuk tempat tinggal dan biaya mobilitas. Jika tempat tinggal dekat dengan tempat kerja akan mengurangi biaya mobilitas, tetapi biaya tempat tinggal di dekat tempat kerja biasanya relatif lebih mahal dibanding jika letaknya jauh dari tempat kerja. Jika tempat tinggal letaknya jauh dari tempat kerja maka biaya mobilitas relatif lebih besar.

Yang jelas, upah minimum Rp 470.000 sebulan tersebut harus dialokasikan untuk makan Rp 270.000, untuk tempat tinggal Rp 100.000, untuk transportasi dan keperluan hidup lainnya. Jika setiap masyarakat sebagai konsumen memperoleh penghasilan yang pas-pasan untuk hidup jelas tidak mungkin menciptakan pasar domestik untuk industri. Pemerintah dan pengusaha harus sadar bahwa penentuan besarnya upah minimum sekaligus juga menentukan penciptaan daya beli masyarakat dan bermuara pada penciptaan pasar domestik.

Upah minimum dapat diperbesar jika pengusaha tidak dibebani biaya-biaya formal lainnya yang biasanya diperlukan oleh pemerintah di luar pajak. Sebuah lembaga penelitian di Jakarta pernah melakukan penelitian bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya-biaya lainnya di luar pajak sebesar 60% dari biaya produksi. Misalkan beban 60% yang harus ditanggung pengusaha ditiadakan dan 20% dari biaya produksi dialihkan untuk upah tenaga kerja tentu dapat menaikkan upah minimum yang bermuara pada penguatan pasar domestik. Yang ditakutkan oleh para pakar moneter, jika upah dinaikkan akan memicu inflasi. Jika aplikasi Pajak Pertambahan Nilai benar-benar diterapkan maka PPN ini sebenarnya merupakan alat pengendali inflasi yang efektif, karena semakin besar produsen menentukan profit maka akan semakin besar pajak yang harus ditanggungnya. Masalahnya budaya pelaksanaan pajak di Indonesia sangat tidak sesuai dengan filosofi pajak itu sendiri, yang kesemuanya berawal dari kelemahan dan jeleknya kualtias SDM di pemerintahan.

Pada akhirnya karena perbedaan kultur, kondisi dan masyarakat antara teori yang diambil dari Barat dengan kondisi objek aplikasinya maka segala sesuatunya jadi terlihat rumit dan hal inilah yang seharusnya menjadi tugas perguruan tinggi, untuk melakukan sinkronisasi antara teori dan kondisi nyata, antara teori penentuan upah minimum dengan tujuan yang ingin dicapai di lapangan. Dan tugas pemerintah bukan hanya sekadar menentukan batas upah minimum tetapi harus mampu menjangkau tujuan yang lebih luas secara menyeluruh bagi kepentingan penciptaan iklim berusaha dan bergeraknya roda perekonomian.(33)

- Penulis adalah Ketua STIE Semarang, dosen FE dan MM Undip

sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/20/nas09.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home