Wednesday, November 22, 2006

Indonesian Investment Opinion

Paradoks Investasi Indonesia

Oleh SOEROSO DASAR

Setiap melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla tidak pernah lupa menitipkan pesan agar para investor luar negeri (negara sahabat) mau menanamkan modalnya di negeri ini. Adapun produk unggulan atau nilai lebih yang dijadikan daya tarik dan mampu dijual adalah tenaga kerja yang berlimpah, dinamika politik yang aman, prosedur mudah, lokasi projek yang strategis, bahkan regulasi-regulasi untuk investasi terus digulirkan.

Pemerintah selalu memberikan "garansi" terhadap unggulan itu. Karena negara seperti Vietnam dan lainnya merupakan kompetitor utama. Terakhir, kujungan SBY ke Cina juga tidak lupa mengharapkan para pengusaha Cina agar mau menginvestasikan modalnya di Indonesia. Perlakuan ini relevan dengan apa yang ditulis oleh Lewis W. Arthur dalam The Theory of Economic Growth: Pembangunan juga harus memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah secara bertahap struktur ekonomi, industri, dan kelembagaan, sehingga memungkinkan menggerakkan industri menggantikan pertanian sebagai lokomotif pembangunan.

Untuk menggerakkan itu semua, negeri ini memerlukan investasi besar, terutama dari para investor dari luar negeri, selain investasi yang dilakukan oleh dana dari dalam negeri. Hitungannya, apabila investasi tinggi maka pada gilirannya penyerapan tenaga kerja tinggi, ujung-ujungnya akan meningkatkan pendapatan dan daya beli (effective demand). Interaksi inilah yang dapat menggelorakan dan mendinamisasikan proses pembangunan.

Indonesia sebagai negara besar (mempunyai sumber daya alam dan sumber daya manusia), sebenarnya memungkinkan untuk lebih awal memanfaatkan sekat-sekat ekonominya guna pembangunan bangsa tanpa harus melirik investor-investor dari luar negeri. Karena kekuatan (modal dasar) pembangunan di negeri ini terletak pada kekuatan sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Namun teori itu tidak mungkin bisa dijalankan karena dalam kondisi daya beli (effective demand) masyarakat yang rendah, dengan tingkat kebocoran pembangunan yang tinggi (selalu berada di 5 besar negara terkorup di dunia) membuat pembangunan di negeri ini tertatih-tatih jatuh bangun.

Guna memutar roda pembangunan lebih cepat, negeri ini menjadi "pelanggan tetap" badan dunia yang memberikan utang (bukan bantuan). Terperangkap dengan kondisi demikian, tidak sedikit para pengamat menyesali ketergantungan Indonesia terhadap bantuan tersebut. Benar bahwa pinjaman itu salah satu alternatif. Namun kalau sudah ketergantungan, persoalan menjadi lain. Paham-paham model pembangunan yang dikenalkan oleh Lewis dan Chenery tadi banyak negara yang menganutnya, termasuk Indonesia.

Bahkan para pengamat mengatakan negeri ini sudah masuk ke perangkap hutang (the debt trap). Karena dahulu negeri ini pernah meminjam uang hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang pada tahun yang sama. Jadi, utang untuk membayar utang. Namun konsep model pembangunan dan ketergantungan terhadap internasional (World Bank, International Monetary Fund) terus saja dianut, sekalipun pemerintahan berganti.

Toturio Dos Santos menolak konsep bantuan tersebut. Menurutnya ketergantungan terhadap negara luar membuat negara terbelakang akan diekspolitasi. Negara maju mengekspolitasi dan menyedot sebagian surplus sehingga ketimpangan terjadi dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang ditentukan oleh pusat kekuasaan dunia (super power).

Tidak kurang dari kaum struktural pernah mengadakan kajian dengan pola "time series" dan "cross sectional" tentang masalah ini, hasilnya pergeseran produksi barang pertanian ke barang industri terjadi pada saat pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Ketika transisi perekonomian terjadi, perlu diperhitungkan perubahan sosioekonomi yang muncul, dengan dampak yang tidak ringan. Persoalannya adalah, perubahan sosio ekonomi tersebut akan membuat atau mengubah perilaku manusia secara cepat.

Urbanisasi meningkat, karena industri perkotaan mengundang dan menarik migrasi dari sektor perdesaan untuk mengadu nasib ke kota. Implikasinya, akan terjadi ketimpangan pendapatan desa kota, karena dinamika dan perputaran ekonomi hanya terjadi di sektor modern perkotaan. Kantong-kantong kemiskinan pun akan lebih terkuak ke permukaan. (Hollis Chenery dan Moses Syrgues, Patton of Development : Oxford University). Realitas itu yang saat ini terjadi di negeri tercinta.

Maka pertanyaan yang relevan adalah, untuk apa sebenarnya tujuan pembangunan dilakukan secara de facto. Apakah argumentasi filosofis, tujuan ekonomis, prinsip-prinsip moral, kepentingan idiologis atau kombinasi dari keseluruhan? Karena bagaimanapun juga begitu banyak muatan faktor tertentu yang akan terikut (inheren) pada pertimbangan keputusan pembangunan yang diambil. Tidaklah aneh apabila proses pembangunan suatu negara, di tengah jalan tujuan pembangunannya dibelokkan ke arah yang lain.

Di sinilah terlihat betapa kompleksnya proses pembangunan ekonomi tersebut, pada tataran realisasi. Tidaklah mengherankan apabila "bongkar pasang" realitas pembangunan terjadi. (Norman T. Uphoff dengan Warrey F. Ilchnas, The New Political Economy, Barkely University of California Press). Bahkan, menurut Harry G. Johnson : The Economic Nationalism : Melihat pandangan atau konsentrasi yang berlebihan pada kepentingan nonekonomi akan membelokkan kebijakasanaan ekonomi jauh dari sasaran yang dikehendaki.

Terlebih, kebijaksanaan nonekonomi tersebut bertentangan dengan rasionalitas ekonomi. Untuk apa lagi kalau tidak untuk kepentingan pribadi, golongan, atau keluarga. Kasus-kasus seperti ini sangat kental terjadi di negara berkembang. Tarik-menarik kepentingan mencolok dan dapat dibaca dengan mata telanjang (lihat : Status pembisik SBY yang hingga hari ini tidak jelas, karena tarik-menarik kepentingan).

Masalah tersebut apabila merujuk pada nasihat Rasul, Barang siapa di antara kalian melihat penguasa yang menyeleweng, yang mengharamkan apa yang diharamkan Allah, merusak janjinya pada Tuhan, menyimpang dari sejumlah Rasulnya, memperlakukan rakyatnya dengan dosa dan permusuhan, lalu dia tidak mau mengubah dengan perbuatan dan ucapan, maka hak bagi Allah untuk memasukkannya ketempatnya (neraka). Karena mereka melakukan ketaatan kepada syetan (Tarih Al-Tabrani).

Di antara diskusi panjang tentang konsep investasi itu, negeri ini punya wajah yang lain. Ketika SBY-Kalla gencar berdiplomasi dan mempromosikan negeri ini, pada saat yang sama, berita dimuat pada berbagai media sangat mencengangkan kita. Betapa tidak, di situ dikatakan lebih sepertiga nilai investasi di Singapura adalah milik warga negara Indonesia. Bisa dibanyangkan betapa besar nilai nominal investasi itu. Konon kebanyakan uang tersebut adalah money laundry, yang diperoleh dari hasil korupsi dan manipulasi di negeri ini.

Uang korupsi dibawa lari, setelah berbagai kemudahan dan fasilitas dinikmati. Kalaulah ini benar maka betapa menyakitkan hati kita terhadap perilaku orang-orang tersebut. Karena begitu banyak kaun duafa yang tinggal di gubuk reot, dengan dada telanjang, kurus kering, menanti belas kasihan dan batuan. Begitu banyak ruang sekolah yang memprihatinkan dan tidak layak untuk belajar. Betapa tragis dan paradoks pemandangan ini. Sementara para "maling" uang negara itu bersiul tenang di luar negeri. Uangnya aman tersimpan dan diinvestasikan di sana.

Singapura belum mau mengikat beberapa perjanjian yang menyangkut klausul-klausul yang secara ekonomi merugikannya, yakni mampu menarik kembali dana investasi warga negara Indonesia. Walaupun Spirit Asean digelorakan, untuk tetap mempertahankan persahabatan. Semoga saja tindakan melarikan uang keluar negeri, tidak terus menular bagi bangsa ini. Karena perilaku sosial yang menonjol seperti hedonisme, menghalalkan segala cara, jalan pintas, keringat dan kerja keras dipandang hina, cenderung mulai diamini. Bagaimanapun juga, yang baik dan buruk tidaklah sama, sekalipun yang buruk itu menarik perhatian kita (QS, 5: 100).

Mencermati dinamika investasi di Indonesia yang berwajah paradoks, semakin menyedihkan. Pada satu sisi SBY-Kala berteriak agar banyak investasi yang masuk, pada sisi yang lain perampok-perampok uang negara melarikan uangnya untuk diinvestasikan di Singapura. Mirip kata pepatah "Arang habis besi binasa". Di mana hati nurani mereka? Semoga Allah membukakan pintu hati mereka, dan memberikan jalan keluar yang terbaik. Amin.***

Penulis, peneliti senior pada PPKSDM Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. (Tulisan ini pendapat pribadi).

http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/112006/22/0901.htm


0 Comments:

Post a Comment

<< Home